Baca Juga
Andi Narogong |
Andi mengatakan, Setnov mengusulkan melibatkan Made Oka Masagung, Komisaris PT Gunung Agung, untuk urusan transaksi antarperbankan. Kesaksian Andi tersebut disampaikan saat pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Andi menjelaskan, saat proyek e-KTP sedang dibahas, sempat terjadi perselisihan antara Paulus Tannos, direktur utama PT Sandipala Arthaputra dengan Irman, mantan Dirjen sekaligus terdakwa e-KTP lainnya. Paulus keberatan jika pengerjaan proyek e-KTP dibagi rata ke seluruh pihak. Paulus menilai proyek e-KTP dikerjakan oleh anggota pemenang konsorsium yakni konsorsium PNRI. Namun, Irman marah dengan respon Paulus.
"Akhirnya Pak Nov bilang ya sudah nanti saya kenalkan ke Oka Masagung karena dia punya link perbankan. Disampaikan juga komitmen konsorsium akan berikan fee 5 persen," ujar Andi di muka persidangan, Kamis (30/11/2017), menirukan janji Setnov saat itu.
Kemudian, Novanto mengundang Andi CS ke rumahnya untuk dipertemukan dengan Made Oka. Dalam pertemuan itu, turut hadir Paulus Tannos.
Di akhir tahun 2011, Chairuman Harahap selaku ketua komisi II DPR saat itu menagih komitmen fee 5 persen kepada Irman. "Jadi dari awal sudah tahu Depdagri akan kasih fee 5 persen untuk DPR," ujarnya.
Pembahasan fee dilanjutkan ke kantor Setya Novanto di Equity Tower. Pada pertemuan itu, turut hadir Setya Novanto, Chairuman Harahap, Paulus Tannos, termasuk Andi. Paulus menyanggupi akan adafee akan segera dieksekusi. Pertemuan pun selesai.
Menurut Andi, ketua DPR itu bahkan pernah meminta melakukan pertemuan membahas proyek e-KTP di Hotel Grand Melia, Jakarta, pada Februari 2010 lalu. Pertemuan itu turut dihadiri Andi, Dirjen Dukcapil Kemendagri saat itu Irman, lalu Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemendagri saat itu Sugiarto dan Sekjen Kemendagri saat itu Diah Anggraeni.
"Pak Nov yang tentukan karena dia ada acara setelahnya. Saya yang bayar. Kita booking ruang meeting di sebelah restoran Jepang," ujar Andi saat memberi kesaksian di persidangan dengan agenda mendengarkan kesaksian terdakwa, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (30/11).
"Apa yang dibicarakan?" tanya ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar kepada Andi.
"Bu Sekjen (Diah Anggreni) dan Pak Irman bilang ada proyek e-KTP tolong didukung, lalu Pak Nov bilang kami selaku partai pendukung pemerintah pasti akan kami dukung," ujar Andi.
Diakui Andi tidak ada pembahasan lebih detil dari Setya Novanto pada pertemuan tersebut. Hanya saja beberapa waktu kemudian, Andi mengaku dipanggil Irman dan disampaikan perkembangan proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Keduanya pun menemui Setnov, sapaan akrab Setya Novanto, di ruang kerjanya lantai 12 gedung DPR. Saat itu, Setnov merupakan ketua fraksi Golkar. Setibanya di sana, Irman yang kini berstatus terdakwa atas kasus yang sama, menanyakan perkembangan proyek e-KTP di DPR ke Setnov.
Setnov menjawab pihaknya akan menindaklanjuti pembahasan tersebut.
"Di sana Pak Irman menanyakan perkembangan anggaran e-KTP, lalu kata Pak Nov bilang ya nanti kami tindak lanjuti," ujarnya.
Setelah pertemuan itu Andi mengaku dikenalkan dengan Johannes Richard Tanjaya oleh Irman. Saat itu, kata Irman, Johannes Tan merupakan pemegang kunci SIAK.
"Katanya siapa pun yang ikut harus koordinasi ke beliau (Johannes Richard Tanjaya) kalau mau dibukakan kuncinya," tukasnya.
Mengetahui hal tersebut, Andi mengaku langsung mengundang Johannes Tanjaya, Paulus Tannos, Johannes Marliem, dan Isnu Edhi ke ruko miliknya di Fatmawati, Jakarta Selatan. Tujuannya, untuk melakukan penjajakan diskusi teknis.
"Kami baru sebatas bicarakan apa yang bisa disiapkan terkait e-KTP berdasarkan apa yang sudah dibahas sebelumnya di uji petik," ujarnya.
Dikatakan oleh Andi, orang orang yang hadir ke ruko Fatmawati kemudian diperkenalkan ke Irman. Paulus Tannos dikenalkan sebagai orang dekat Gamawan Fauzi, mantan Mendagri. Paulus, ujar Andi, mengklaim sudah menyiapkan modal Rp 1 Triliun. Sementara Johannes Marliem diakui Andi merupakan pihak penyedia AFIS (Automated Fingerprint Identification System).
Andi juga mengaku pernah memberi sebuah jam tangan mewah merek Richard Mille, patungan bersama Johannes Marliem, untuk Setnov. Namun jam tangan mewah itu dikembalikan Setnov saat publik dikejutkan dengan terbongkarnya korupsi dari proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
"Pada saat saya sebelum ditangkap, awal 2017 dikembalikan karena ada ribut-ribut e-KTP," kata Andi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (30/11).
Andi mengatakan pemberian jam tangan tersebut dilakukan sebagai bentuk terima kasih karena Setnov sudah membantu proses penganggaran e-KTP di DPR.
Lebih lanjut, untuk membeli jam tangan seharga Rp 1,3 miliar itu, Andi merogoh kocek Rp 650 juta sedangkan sisanya ditanggung oleh Johannes Marliem. Jam tangan pun dibeli secara langsung di California.
Setelah mendapatkan jam tangan yang diinginkan, Johannes dan Andi mengunjungi kediaman Setya Novanto untuk memberikan hadiah terima kasih. Saat itu, ujar Andi, Setnov mengatakan terima kasih.
"Pak Nov senang. Ini ada hadiah kami berdua atas bantuan bapak selama ini," ujar Andi.
Di sisi lain, Andi mengaku enggan memberikan jam tangan mewah untuk ketua umum non aktif Golkar itu jika tidak ada proyek e-KTP.
"Seandainya tidak ada proyek e-KTP, apakah anda mau membelikan Setya Novanto jam tangan semahal itu?" tanya ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar, Kamis (30/11).
"Tidak yang mulia," jawab Andi.
Andi mengaku akan mengembalikan keuntungan proyek e-KTP yang didapatnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andi mengatakan, pengembalian tersebut sudah dilakukan dengan pengembalian pertama USD 350 ribu.
"Saya sudah mulai mencicil. Senin saya sudah kembalikan USD 350 ribu ke KPK," ujar Andi, Kamis (30/11).
Dia menambahkan, pengembalian tersebut diharapkan agar tidak terbebani dengan permasalahan dan tanggungjawabnya kepada negara.
"Saya mau hidup tenang. Saya menyesal yang mulia," katanya.
Setnov menegaskan tidak pernah menerima aliran dana korupsi e-KTP. Setnov juga menepis dugaan Partai Golkar ikut kecipratan dana 'pemulus' proyek e-KTP sebesar Rp 150 miliar.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini menegaskan tidak pernah mempengaruhi fraksi-fraksi partai untuk menyetujui anggaran proyek e-KTP saat menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
"Enggak pernah kita ikut karena fraksi itu hanya menerima laporan pleno satu bulan sekali dan tidak secara detail. Tetapi semuanya secara moral kepada masalah-masalah yang lain," klaim Setnov.
[mdk/did/rki]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar