Baca Juga
JAKARTA -- Kemiskinan masih terus menghantui
kehidupan warga Indonesia. Kemerdekaan yang dicita-citakan para
'founding fathers' buat menyejahterakan kehidupan Rakyat Indonesia
sepertinya hingga kini belum terealisasi.
Alhasil, masih bisa kita temui Rakyat di Republik ini yang kondisi
kehidupannya masih 'mengenaskan'. Salah satunya dialami Mak Erat (91).
Warga Dusun Telukbunder RT 02 RW 01, Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang, menempati gubuk bambu berukuran tiga kali dua meter beratapkan genteng yang sebagian sudah ambruk dan berlantaikan tanah. Di gubuk itu, Mak Erat tinggal bersama anak dan satu cucunya.
Mak Erat harus tidur di dapur yang menyatu dengan seluruh isi rumah yang jauh dikatakan layak huni. Gubuk tersebut adalah harta satu-satunya peninggalan suami tercinta.
Anak Mak Erat, Firmansyah mengatakan bagian belakang gubuk yang ditinggalinya itu pernah ambruk pada 4 tahun lalu dan hingga kini belum dibetulkan. Jika hujan, bagian atap bocor, jika panas sinar matahari tembus langsung ke dalam gubuk.
"Jangankan untuk bangun gubuk, untuk makan sehari-hari juga susah," kata Firmansah, Jumat (23/11).
Untuk kebutuhan hidupnya, Mak Erat mengandalkan hasil jerih payah cucunya yang bekerja secara serabutan dengan penghasilan tidak menentu bahkan terkadang pulang tak membawa uang.
"Kalau untuk makan, hasil kerja serabutan baru bisa beli beras untuk dimasak," katanya.
Dede Komara, tetangga Mak Erat, mengatakan nenek tua, anak dan cucunya itu memang masuk kategori dari kalangan kurang mampu di desanya. Dia mengaku sudah menyampaikan kepada pemerintah desa soal kondisi Mak Erat namun hingga kini belum ada tanggapan.
"Kondisi gubuk nenek Erat bersama anaknya cukup memprihatinkan dan sangat butuh bantuan dermawan apalagi pemerintah untuk membedah rumah nenek," katanya.
Bah Ajum juga Tinggal di Gubuk Reyot
Kondisi serupa juga dialami Bah Ajum (60). Pria renta ini harus menghabiskan sisa hidupnya di gubuk reyot tak layak setelah istri yang dicintainya meninggal dunia. Warga Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang, itu tinggal di gubuk ukuran 1,5 x 2 meter yang terbuat dari bambu sebagai penyangga dan penutup dari kain dan terpal plastik.
Bah Ajum yang daya tahan tubuhnya kian memburuk tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa menempati saung reyot miliknya setelah rumah kayu ambruk pada Agustus lalu.
"Terpaksa tinggal di saung reyot sejak gubuk ambruk pada Agustus lalu," kata Bah Ajum.
Bagi Bah Ajum, tinggal gubuk reyot bukan pilihan hidup. Kemiskinan yang memaksanya harus hidup di gubuk reyot dan tidur beralaskan balai bambu.
Bah Ajum menceritakan memiliki anak yang paling tua bernama Narsum. Anaknya itu 'diasingkan' tak jauh dari gubuknya tinggal karena mengalami gangguan jiwa 20 tahun terakhir. Sejak tamat SD, Narsum mengalami panas dan hingga kini mengalami gangguan jiwa.
"Mengalami gangguan jiwa sudah ada 20 tahun lebih," katanya.
Narsum tak pernah mendapat pengobatan karena kemiskinan yang diderita keluarga Bah Ajum. Warga berharap Bah Ajum memperoleh bantuan karena kini tak punya apa-apa lagi.
[dan/rki]
Warga Dusun Telukbunder RT 02 RW 01, Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang, menempati gubuk bambu berukuran tiga kali dua meter beratapkan genteng yang sebagian sudah ambruk dan berlantaikan tanah. Di gubuk itu, Mak Erat tinggal bersama anak dan satu cucunya.
Mak Erat harus tidur di dapur yang menyatu dengan seluruh isi rumah yang jauh dikatakan layak huni. Gubuk tersebut adalah harta satu-satunya peninggalan suami tercinta.
Anak Mak Erat, Firmansyah mengatakan bagian belakang gubuk yang ditinggalinya itu pernah ambruk pada 4 tahun lalu dan hingga kini belum dibetulkan. Jika hujan, bagian atap bocor, jika panas sinar matahari tembus langsung ke dalam gubuk.
"Jangankan untuk bangun gubuk, untuk makan sehari-hari juga susah," kata Firmansah, Jumat (23/11).
Untuk kebutuhan hidupnya, Mak Erat mengandalkan hasil jerih payah cucunya yang bekerja secara serabutan dengan penghasilan tidak menentu bahkan terkadang pulang tak membawa uang.
"Kalau untuk makan, hasil kerja serabutan baru bisa beli beras untuk dimasak," katanya.
Dede Komara, tetangga Mak Erat, mengatakan nenek tua, anak dan cucunya itu memang masuk kategori dari kalangan kurang mampu di desanya. Dia mengaku sudah menyampaikan kepada pemerintah desa soal kondisi Mak Erat namun hingga kini belum ada tanggapan.
"Kondisi gubuk nenek Erat bersama anaknya cukup memprihatinkan dan sangat butuh bantuan dermawan apalagi pemerintah untuk membedah rumah nenek," katanya.
Bah Ajum juga Tinggal di Gubuk Reyot
Kondisi serupa juga dialami Bah Ajum (60). Pria renta ini harus menghabiskan sisa hidupnya di gubuk reyot tak layak setelah istri yang dicintainya meninggal dunia. Warga Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang, itu tinggal di gubuk ukuran 1,5 x 2 meter yang terbuat dari bambu sebagai penyangga dan penutup dari kain dan terpal plastik.
Bah Ajum yang daya tahan tubuhnya kian memburuk tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa menempati saung reyot miliknya setelah rumah kayu ambruk pada Agustus lalu.
"Terpaksa tinggal di saung reyot sejak gubuk ambruk pada Agustus lalu," kata Bah Ajum.
Bagi Bah Ajum, tinggal gubuk reyot bukan pilihan hidup. Kemiskinan yang memaksanya harus hidup di gubuk reyot dan tidur beralaskan balai bambu.
Bah Ajum menceritakan memiliki anak yang paling tua bernama Narsum. Anaknya itu 'diasingkan' tak jauh dari gubuknya tinggal karena mengalami gangguan jiwa 20 tahun terakhir. Sejak tamat SD, Narsum mengalami panas dan hingga kini mengalami gangguan jiwa.
"Mengalami gangguan jiwa sudah ada 20 tahun lebih," katanya.
Narsum tak pernah mendapat pengobatan karena kemiskinan yang diderita keluarga Bah Ajum. Warga berharap Bah Ajum memperoleh bantuan karena kini tak punya apa-apa lagi.
[dan/rki]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar