Baca Juga
BIJAKNEWS.COM -- Pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang mengecam profesi jurnalis terkait dengan pemberitaan Reuni 212 dinilai akan menjadi bumerang baginya. Seharusnya, kritik terhadap media itu disalurkan lewat pengaduan di Dewan Pers.
"Ungkapannya Pak Prabowo sangat tidak pas. Sangat disayangkan. Ini dikhawatirkan bisa menjadi bumerang bagi elektabilitas Pak Prabowo sebagai capres. Mengkritik media, jurnalis, tidak begitu caranya," kata pengajar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro Semarang,M Yulianto, di Semarang, Kamis, 6 Desember 2018.
"Pers punya kekuatan besar di negara Demokrasi, harusnya bisa direngkuh dan diajak berteman, tidak dimusuhi. Bisa jadi bumerang yang menyerang," ia menambahkan.
Sebelumnya, Prabowo sempat geram karena banyak media tak meliput Reuni 212, di Monumen Nasional (Monas), Minggu (2/12). Selain itu, Prabowo mengeluhkan soal pemberitaan tentang jumlah massa Reuni 212. Dia menganggap media sudah berpihak dan bahkan meminta pendukungnya tak usah menghormati wartawan.
Menurut Yulianto, pernyataan itu terlalu kasar dan membuat kalangan pers menjadi tidak simpatik kepada Ketua Umum Partai Gerindra itu. Terlebih, kata Yulianto, Prabowo kerap mencibir jurnalis.
"Kalau yang keluar nadanya keras dan disampaikan di depan publik, terlihatnya kasar. Dan tidak sekali ini saja lho Pak Prabowo itu mengkritik media," ujar dia.
Diketahui, ada sejumlah kasus yang melibatkan Prabowo dengan jurnalis. Pada 25 Oktober 2013, Prabowo menyerukan agar masyarakat tidak lagi mempercayai pemberitaan di media massa karena wartawan bisa disogok. Keesokan harinya, Prabowo meminta maaf kepada para wartawan.
Pada 9 Juli 2014, di Hambalang, Bogor, Ketua Umum Partai Gerindra ini marah besar kepada sejumlah reporter televisi. Ia menilai pemberitaan yang ditayangkan oleh beberapa media televisi kerap menyudutkan dirinya.
Pada 14 Juli 2014, Prabowo kembali melontarkan amarahnya saat jumpa pers di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Prabowo menolak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh wartawan The Jakarta Post karena tudingan keberpihakan dari pemilik media tersebut.
Lalu, Agustus 2017, Prabowo menyinggung gaji wartawan yang menurut dia kecil. "Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mal. Betul ya? Jujur, jujur," kata Prabowo.
April 2018, Ketua Umum Partai Gerindra ini kembali menyinggung gaji wartawan yang kecil di hadapan ratusan pengurus, kader dan juga simpatisan Partai Gerindra. Prabowo menilai para wartawan memiliki kesamaan nasib dan perasaan dengan rakyat kecil yang mendukung Partai Gerindra, yakni sama-sama memiliki gaji kecil.
Yulianto melanjutkan bahwa kejengkelan Prabowo terhadap produk jurnalistik itu seharusnya bisa disampaikan lewat jalur yang relevan, yakni Dewan Pers, atau bertanya langsung dengan pimpinan media yang disebut.
"Ya kalau ada yang tidak benar atau salah di pemberitaan, Pak Prabowo bisa [mengajukan] komplain melalui Dewan Pers atau mungkin datang ke kantor media yang disebut untuk mengklarifikasi dan meluruskan," tutur Yulianto.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi menganggap pernyataan Prabowo itu sebagai sebuah kritik yang dilakukan oleh seorang warga negara.
"Saya cuma melihat ini sebagai sebuah kritik. Kritik itu sebagaimana juga kritik dari siapapun, ambil manfaatnya. Namun, jika kemudian terjadi penghalang-halangan artinya ada aksi untuk menghalang-halangi jurnalis untuk meliput, itu melanggar undang-undang," kata Imam saat dihubungi CNNIndonesia.com.
(Sumber: cnnindonesia.com)
"Ungkapannya Pak Prabowo sangat tidak pas. Sangat disayangkan. Ini dikhawatirkan bisa menjadi bumerang bagi elektabilitas Pak Prabowo sebagai capres. Mengkritik media, jurnalis, tidak begitu caranya," kata pengajar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro Semarang,M Yulianto, di Semarang, Kamis, 6 Desember 2018.
"Pers punya kekuatan besar di negara Demokrasi, harusnya bisa direngkuh dan diajak berteman, tidak dimusuhi. Bisa jadi bumerang yang menyerang," ia menambahkan.
Sebelumnya, Prabowo sempat geram karena banyak media tak meliput Reuni 212, di Monumen Nasional (Monas), Minggu (2/12). Selain itu, Prabowo mengeluhkan soal pemberitaan tentang jumlah massa Reuni 212. Dia menganggap media sudah berpihak dan bahkan meminta pendukungnya tak usah menghormati wartawan.
Menurut Yulianto, pernyataan itu terlalu kasar dan membuat kalangan pers menjadi tidak simpatik kepada Ketua Umum Partai Gerindra itu. Terlebih, kata Yulianto, Prabowo kerap mencibir jurnalis.
"Kalau yang keluar nadanya keras dan disampaikan di depan publik, terlihatnya kasar. Dan tidak sekali ini saja lho Pak Prabowo itu mengkritik media," ujar dia.
Diketahui, ada sejumlah kasus yang melibatkan Prabowo dengan jurnalis. Pada 25 Oktober 2013, Prabowo menyerukan agar masyarakat tidak lagi mempercayai pemberitaan di media massa karena wartawan bisa disogok. Keesokan harinya, Prabowo meminta maaf kepada para wartawan.
Pada 9 Juli 2014, di Hambalang, Bogor, Ketua Umum Partai Gerindra ini marah besar kepada sejumlah reporter televisi. Ia menilai pemberitaan yang ditayangkan oleh beberapa media televisi kerap menyudutkan dirinya.
Pada 14 Juli 2014, Prabowo kembali melontarkan amarahnya saat jumpa pers di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Prabowo menolak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh wartawan The Jakarta Post karena tudingan keberpihakan dari pemilik media tersebut.
Lalu, Agustus 2017, Prabowo menyinggung gaji wartawan yang menurut dia kecil. "Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mal. Betul ya? Jujur, jujur," kata Prabowo.
April 2018, Ketua Umum Partai Gerindra ini kembali menyinggung gaji wartawan yang kecil di hadapan ratusan pengurus, kader dan juga simpatisan Partai Gerindra. Prabowo menilai para wartawan memiliki kesamaan nasib dan perasaan dengan rakyat kecil yang mendukung Partai Gerindra, yakni sama-sama memiliki gaji kecil.
Yulianto melanjutkan bahwa kejengkelan Prabowo terhadap produk jurnalistik itu seharusnya bisa disampaikan lewat jalur yang relevan, yakni Dewan Pers, atau bertanya langsung dengan pimpinan media yang disebut.
"Ya kalau ada yang tidak benar atau salah di pemberitaan, Pak Prabowo bisa [mengajukan] komplain melalui Dewan Pers atau mungkin datang ke kantor media yang disebut untuk mengklarifikasi dan meluruskan," tutur Yulianto.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi menganggap pernyataan Prabowo itu sebagai sebuah kritik yang dilakukan oleh seorang warga negara.
"Saya cuma melihat ini sebagai sebuah kritik. Kritik itu sebagaimana juga kritik dari siapapun, ambil manfaatnya. Namun, jika kemudian terjadi penghalang-halangan artinya ada aksi untuk menghalang-halangi jurnalis untuk meliput, itu melanggar undang-undang," kata Imam saat dihubungi CNNIndonesia.com.
(Sumber: cnnindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar