Baca Juga
BIJAKNEWS.COM -- Banyak pihak tidak menyadari saat ini terjadi krisis demokrasi yang dapat mengganggu pelaksanaan Pemilu 2019. Krisis itu terjadi karena Komisi Pemilihan Umum tidak konsisten melaksanakan konstitusi, terutama keputusan Bawaslu agar memasukkan nama Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPD Pemilu 2019.
"Seharusnya KPU sebagai penyelenggara pemilu mampu mengikuti jadwal yang diatur di Undang-Undang Pemilu. Lewatnya waktu atau terjadinya pelanggaran di luar ketentuan, tahapan pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," jelas kuasa hukum DPD RI Dodi Abdul Kadir dalam diskusi bertema 'Potret Kerja Politik DPD Hingga Januari 2019 dan Situasi Serta Kondisi Jelang Pemilu 2019' di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 22 Januari 2019.
Menurutnya, konsekuensi dari sikap KPU tersebut berimplikasi kepada caleg DPD di Pemilu 2019.
"Bisa tidak ada caleg DPD untuk pemilu. Kalau tidak ada calonnya, ya pasti tidak ada anggota DPD," kata Dodi.
Dodi mengatakan, hal itu terjadi karena KPU telah mencabut surat penetapan DCT anggota DPD. Di sisi lain, penyusunan DCT yang dikeluarkan KPU tidak memiliki dukungan hukum.
"PKPU Nomor 26 telah dibatalkan. Putusan MA menyatakan bahwa PKPU 26 memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak diberlakukan pada Pemilu 2019," jelasnya.
Selain itu, PTUN Jakarta juga mencabut surat penetapan DCT pada Pemilu 2019.
"Karena itu, terjadi kekosongan caleg DPD Pemilu 2019," kata Dodi.
Hal itu berarti bahwa peserta pemilu yang ada hanya pasangan calon presiden dan caleg DPR RI.
"DPD tidak ada," ujar Dodi.
Lanjutnya, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil Pemilu 2019. Di mana, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga yang mengesahkan presiden bukan DPR tetapi MPR yang terdiri dari anggota DPD dan DPR.
"Dalam hal ini tidak terdapat anggota DPD maka hasil Pemilu 2019 tidak akan menghasilkan MPR," kata Dodi.
"Hal ini membuat krisis dan dapat dimanfaatkan siapa saja yang menghendaki instabilitas atau kekosongan kekuasaan," tambahnya.
(Source: rmol.co)
"Seharusnya KPU sebagai penyelenggara pemilu mampu mengikuti jadwal yang diatur di Undang-Undang Pemilu. Lewatnya waktu atau terjadinya pelanggaran di luar ketentuan, tahapan pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," jelas kuasa hukum DPD RI Dodi Abdul Kadir dalam diskusi bertema 'Potret Kerja Politik DPD Hingga Januari 2019 dan Situasi Serta Kondisi Jelang Pemilu 2019' di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 22 Januari 2019.
Menurutnya, konsekuensi dari sikap KPU tersebut berimplikasi kepada caleg DPD di Pemilu 2019.
"Bisa tidak ada caleg DPD untuk pemilu. Kalau tidak ada calonnya, ya pasti tidak ada anggota DPD," kata Dodi.
Dodi mengatakan, hal itu terjadi karena KPU telah mencabut surat penetapan DCT anggota DPD. Di sisi lain, penyusunan DCT yang dikeluarkan KPU tidak memiliki dukungan hukum.
"PKPU Nomor 26 telah dibatalkan. Putusan MA menyatakan bahwa PKPU 26 memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak diberlakukan pada Pemilu 2019," jelasnya.
Selain itu, PTUN Jakarta juga mencabut surat penetapan DCT pada Pemilu 2019.
"Karena itu, terjadi kekosongan caleg DPD Pemilu 2019," kata Dodi.
Hal itu berarti bahwa peserta pemilu yang ada hanya pasangan calon presiden dan caleg DPR RI.
"DPD tidak ada," ujar Dodi.
Lanjutnya, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil Pemilu 2019. Di mana, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga yang mengesahkan presiden bukan DPR tetapi MPR yang terdiri dari anggota DPD dan DPR.
"Dalam hal ini tidak terdapat anggota DPD maka hasil Pemilu 2019 tidak akan menghasilkan MPR," kata Dodi.
"Hal ini membuat krisis dan dapat dimanfaatkan siapa saja yang menghendaki instabilitas atau kekosongan kekuasaan," tambahnya.
(Source: rmol.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar