Baca Juga
BIJAKNEWS.COM -- Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi lakukan syiar Islam di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Kamis, 24 Januari 2019. Pria yang akrab disapa TGB itu, diundang untuk memberikan Tausiyah di Tajug Gede Cilodong, Jalan Raya Bungursari.
Menurut TGB, Indonesia merupakan negara yang paling memberikan keleluasaan dalam syiar ajaran Islam. Kondisi tersebut patut disyukuri di tengah maraknya isu pembatasan ruang gerak syiar Islam di Tanah Air.
"Jika dikomparasi dengan berbagai negara di dunia, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memberikan kebebasan dalam berislam," ujar TGB di Purwakarta.
Namun, sambung dia, terkadang karena sejak dulu masyarakat sudah lahir dalam suasana keislaman yang sangat kental, dalam pikirannya di seluruh dunia juga seperti itu. Padahal, menurutnya, di negara lain tidak seperti di Indonesia.
"Saya yakin, secara objektif hasil dari komparasi itu adalah kesimpulan bahwa berislam di negara ini sangat lapang dan luas. Tengok saja syiar Islam lewat pengajian-pengajian. Di mana-mana syiar Islam dikumandangkan lewat pengeras suara dan hal itu tidak ditemukan di negara lain," kata dia mencontohkan.
Bahkan, lulusan Universitas Al Azhar, Kairo itu menambahkan, tidak hanya sebatas memberikan keleluasaan dalam berekspresi kepada umat Islam, pemerintah juga memberikan fasilitas, seperti penyediaan perangkat undang-undang yang memfasilitasi syiar Islam hingga tingkat daerah.
"Indonesia memang bukan negara agama, tetapi nilai-nilai agama itu tidak pernah lepas dari praktik pemerintahan di Indonesia. Jadi kita harus bersyukur, sebagai umat di Indonesia punya keleluasaan dalam berislam. Termasuk juga umat-umat yang lain," jelas dia.
Lebih jauh TGB mengatakan, Islam hadir membawa kedamaian dan kemaslahatan bagi umatnya. Oleh karenanya, nilai-nilai dan semangat Islam harus terus dijaga untuk memperkokoh tali persaudaraan di antara sesama anak bangsa.
"Tidak usah kita mempertentangkan paling islami, paling pejuang islam. Mari kita rawat nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan fitrah manusia. Kita cinta Indonesia, namun bukan berarti meletakan nasionalisme seperti agama karena menyianyiakan Indonesia merupakan bagian dari kufur nikmat," ucapnya.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM) Tajug Gede Cilodong Dedi Mulyadi menilai, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yakni agama kerap kali dibawa ke wilayah yang lebih privat dalam berpolitik.
Dedi yang juga Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma'ruf Jawa Barat itu menganggap, saat ini, nilai-nilai keagamaan seolah tersekat oleh ikatan politik, terlebih menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) seperti saat ini.
"Seperti ada anggapan ulama pendukung nomor urut satu (Jokowi-Ma'ruf), ulama pendukung nomor urut dua (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno)," sebut Dedi mencontohkan.
Sehingga, lanjut Dedi, sehebat apapun ilmu agama ulama yang dicap pendukung capres-cawapres nomor urut 01, tak akan digubris oleh masyarakat pendukung capres-cawapres nomor urut 02, begitupun sebaliknya.
"Nomor dua juga sama, sehebat apapun ulama nomor dua, kubu nomor satu enggak mau dengar," imbuhnya.
Dedi menegaskan, kondisi tersebut mutlak harus segera dibenahi. Sebab, apapun alasannya, pilihan politik tidak boleh dibawa ke ranah keyakinan yang bersifat filosofi maupun ideologi.
"Jadi pilihan politik itu tidak ada kaitannya dengan keimanan," tandasnya.
(Source: okezone.com)
Menurut TGB, Indonesia merupakan negara yang paling memberikan keleluasaan dalam syiar ajaran Islam. Kondisi tersebut patut disyukuri di tengah maraknya isu pembatasan ruang gerak syiar Islam di Tanah Air.
"Jika dikomparasi dengan berbagai negara di dunia, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memberikan kebebasan dalam berislam," ujar TGB di Purwakarta.
Namun, sambung dia, terkadang karena sejak dulu masyarakat sudah lahir dalam suasana keislaman yang sangat kental, dalam pikirannya di seluruh dunia juga seperti itu. Padahal, menurutnya, di negara lain tidak seperti di Indonesia.
"Saya yakin, secara objektif hasil dari komparasi itu adalah kesimpulan bahwa berislam di negara ini sangat lapang dan luas. Tengok saja syiar Islam lewat pengajian-pengajian. Di mana-mana syiar Islam dikumandangkan lewat pengeras suara dan hal itu tidak ditemukan di negara lain," kata dia mencontohkan.
Bahkan, lulusan Universitas Al Azhar, Kairo itu menambahkan, tidak hanya sebatas memberikan keleluasaan dalam berekspresi kepada umat Islam, pemerintah juga memberikan fasilitas, seperti penyediaan perangkat undang-undang yang memfasilitasi syiar Islam hingga tingkat daerah.
"Indonesia memang bukan negara agama, tetapi nilai-nilai agama itu tidak pernah lepas dari praktik pemerintahan di Indonesia. Jadi kita harus bersyukur, sebagai umat di Indonesia punya keleluasaan dalam berislam. Termasuk juga umat-umat yang lain," jelas dia.
Lebih jauh TGB mengatakan, Islam hadir membawa kedamaian dan kemaslahatan bagi umatnya. Oleh karenanya, nilai-nilai dan semangat Islam harus terus dijaga untuk memperkokoh tali persaudaraan di antara sesama anak bangsa.
"Tidak usah kita mempertentangkan paling islami, paling pejuang islam. Mari kita rawat nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan fitrah manusia. Kita cinta Indonesia, namun bukan berarti meletakan nasionalisme seperti agama karena menyianyiakan Indonesia merupakan bagian dari kufur nikmat," ucapnya.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM) Tajug Gede Cilodong Dedi Mulyadi menilai, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yakni agama kerap kali dibawa ke wilayah yang lebih privat dalam berpolitik.
Dedi yang juga Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma'ruf Jawa Barat itu menganggap, saat ini, nilai-nilai keagamaan seolah tersekat oleh ikatan politik, terlebih menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) seperti saat ini.
"Seperti ada anggapan ulama pendukung nomor urut satu (Jokowi-Ma'ruf), ulama pendukung nomor urut dua (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno)," sebut Dedi mencontohkan.
Sehingga, lanjut Dedi, sehebat apapun ilmu agama ulama yang dicap pendukung capres-cawapres nomor urut 01, tak akan digubris oleh masyarakat pendukung capres-cawapres nomor urut 02, begitupun sebaliknya.
"Nomor dua juga sama, sehebat apapun ulama nomor dua, kubu nomor satu enggak mau dengar," imbuhnya.
Dedi menegaskan, kondisi tersebut mutlak harus segera dibenahi. Sebab, apapun alasannya, pilihan politik tidak boleh dibawa ke ranah keyakinan yang bersifat filosofi maupun ideologi.
"Jadi pilihan politik itu tidak ada kaitannya dengan keimanan," tandasnya.
(Source: okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar