Baca Juga
JAKARTA, BijakNews.com -- Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Majdi atau biasa disapa Tuan Guru Bajang (TGB), turut berpendapat tentang polemik seruan Nahdlatul Ulama agar masyarakat Muslim di Indonesia tak menggunakan istilah kafir kepada kalangan nonmuslim.
Menurut TGB, kesepakatan ulama tentang istilah kafir dari sisi akidah berlaku kepada siapa pun yang tidak percaya atau ingkar pada Allah dan rasulnya, serta pokok-pokok syariat Islam.
Namun, katanya, dalam muamalah atau urusan kemasyarakatan sehari-hari, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan semua orang.
"Rasul shallallahu alaihi wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah," tulis TGB melalui halaman Facebook-nya.
Dia mengingatkan, dalam Piagam Madinah alias Konstitusi Madinah atau naskah perjanjian Nabi Muhammad dengan masyarakat multiagama di Madinah, semua warga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Tetapi kata kafir tidak digunakan dalam dokumen itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan. Sebab piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun masyarakat utuh dan bersama.
"Sekarang kita hidup di negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan salah satu bentuk persaudaraan yang wajib dijaga dengan sesungguh hati dan sekuat-kuatnya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah," ujarnya.
Penyebutan kepada saudara sebangsa, ujarnya, harus berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan. "Maka menyebut orang yang beragama lain dengan sebutan nonmuslim tidak keliru, dan bahkan lebih sesuai dengan semangat kita berbangsa."
TGB juga menjelaskan, dalam beragam acara publik, saat seorang muslim memimpin doa, dia mengawali dengan ucapan, 'izinkan saya membaca doa secara Islam dan bagi saudara yang nonmuslim agar menyesuaikan'.
"Kalau kata nonmuslim diganti kafir, tentu sangat tidak nyaman untuk saudara-saudara yang beragama selain Islam," kata Koordinator Bidang Keumatan Partai Golkar itu.
Dia juga membagikan sebuah foto di halaman Facebook-nya, yang memperlihatkan penanda saat akan memasuki Kota Mekah. Petunjuk jalan itu jelas tertulis nonmuslim dengan bahasa Arab, bukan tertulis kafir.
(Source: viva.co.id)
Menurut TGB, kesepakatan ulama tentang istilah kafir dari sisi akidah berlaku kepada siapa pun yang tidak percaya atau ingkar pada Allah dan rasulnya, serta pokok-pokok syariat Islam.
Namun, katanya, dalam muamalah atau urusan kemasyarakatan sehari-hari, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan semua orang.
"Rasul shallallahu alaihi wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah," tulis TGB melalui halaman Facebook-nya.
Dia mengingatkan, dalam Piagam Madinah alias Konstitusi Madinah atau naskah perjanjian Nabi Muhammad dengan masyarakat multiagama di Madinah, semua warga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Tetapi kata kafir tidak digunakan dalam dokumen itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan. Sebab piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun masyarakat utuh dan bersama.
"Sekarang kita hidup di negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan salah satu bentuk persaudaraan yang wajib dijaga dengan sesungguh hati dan sekuat-kuatnya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah," ujarnya.
Penyebutan kepada saudara sebangsa, ujarnya, harus berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan. "Maka menyebut orang yang beragama lain dengan sebutan nonmuslim tidak keliru, dan bahkan lebih sesuai dengan semangat kita berbangsa."
TGB juga menjelaskan, dalam beragam acara publik, saat seorang muslim memimpin doa, dia mengawali dengan ucapan, 'izinkan saya membaca doa secara Islam dan bagi saudara yang nonmuslim agar menyesuaikan'.
"Kalau kata nonmuslim diganti kafir, tentu sangat tidak nyaman untuk saudara-saudara yang beragama selain Islam," kata Koordinator Bidang Keumatan Partai Golkar itu.
Dia juga membagikan sebuah foto di halaman Facebook-nya, yang memperlihatkan penanda saat akan memasuki Kota Mekah. Petunjuk jalan itu jelas tertulis nonmuslim dengan bahasa Arab, bukan tertulis kafir.
(Source: viva.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar