Baca Juga
JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membantah tudingan telah menerima Rp70juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin.
Hal tersebut menyusul pemberitaan yang didasarkan pada dakwaan untuk terdakwa Haris Hasanudin yang dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Selasa (29/5/2019) lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Disebutkan bahwa pada 1 Maret 2019 di Hotel Mercure Surabaya, terdakwa memberikan Rp50juta kepada Menag. Selanjutnya, pada 9 Maret 2019, bertempat di Tebu Ireng Jombang, terdakwa memberikan lagi uang kepada Menag sejumlah Rp20juta.
“Saat melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, tanggal 1 Maret 2019, baik saya maupun ajudan dan petugas protokol yang mendampingi, tidak pernah menerima pemberian dalam bentuk apapun dari Haris, apalagi pemberian berupa uang sejumlah Rp50juta,” tegas Menag Lukman di Jakarta, Senin (3/6/2019).
Menurutnya, saat itu, juga tidak ada pertemuan khusus dengan Haris. Saya hanya ke ruang transit hotel bersama beberapa pegawai dari jajaran Kanwil sekitar 10 menit sebelum acara dimulai. Dari situ langsung mengisi acara. Selesai acara, ia langsung meninggalkan hotel.
Menurut Menag, pada 9 Maret 2019, di Tebu Ireng Jombang, Haris memang memberikan uang, jumlahnya Rp10juta, bukan Rp20juta. Namun, uang tersebut diberikan Haris kepada Ajudan Menag, bukan kepada Menag.
Dikatakan Menag, maksud dan tujuan Haris memberikan uang tersebut kepada Ajudan Menag pun tidak jelas. Ketika hal itu ditanyakan oleh Ajudan Menag, Haris mengatakan bahwa uang itu sebagai “honorarium tambahan”. Uang tersebut juga baru disampaikan ajudan kepada Menag setelah sampai di Jakarta.
“Jadi sejak awal, saya memang tidak tahu adanya pemberian uang tersebut,” tandasnya dalam keterangan pers, Senin (3/6/2019).
Saat uang tersebut dilaporkan oleh ajudan, Menag menolak untuk menerimanya. Menag berpendapat dirinya tidak berhak atas uang tersebut karena tidak memiliki acara apapun yang digelar Kanwil Kemenag Jawa Timur.
“Saya sudah meminta ajudan untuk mengembalikan uang tersebut kepada Haris. Namun, mengingat Ajudan tidak pernah bisa bertemu langsung dengan Haris, maka uang tersebut masih disimpan dan baru dilaporkan kembali oleh Ajudan kepada saya pada 22 Maret 2019,” terang Menag.
“Akhirnya, uang tersebut dilaporkan ke KPK pada 26 Maret 2019. Pelaporan uang Rp10juta itu sebagai bentuk komitmen saya terhadap pencegahan tindak gratifikasi,” sambungnya.
Sebagai penyelenggara negara, Menag sadar akan adanya larangan menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi, jelas mengatur bahwa Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara wajib melaporkan setiap penerimaan Gratifikasi kepada KPK apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Laporan gratifikasi bisa dilakukan dalam rentang 30 hari kerja sejak diterima. Sementara pasal 2 ayat (2) Peraturan KPK tersebut mengatur, pelaporan gratifikasi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi diterima oleh Penerima Gratifikasi dengan mengisi Formulir Pelaporan Gratifikasi.
“Kalau Haris menyerahkan uang Rp10 juta itu ke ajudan pada 9 Maret, selang 17 hari kalender, uang itu sudah dilaporkan ke KPK. Hitungannya, gratifikasi itu sudah dilaporkan dalam 12 hari kerja,” ujarnya.
Pelaporan gratifikasi oleh Menag ke KPK bukanlah kali pertama. Sejak menjadi penyelenggara negara, Menag tercatat beberapa kali melaporkan gratifikasi. Menag bahkan pernah menerima penghargaan dari KPK sebagai salah satu pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar yang ditetapkan menjadi milik Negara.
Penghargaan disampaikan pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2017. Hanya ada tiga orang yang mendapat penghargaan itu, yaitu: Presiden, Wapres, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin.
(rel/ede)
Hal tersebut menyusul pemberitaan yang didasarkan pada dakwaan untuk terdakwa Haris Hasanudin yang dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Selasa (29/5/2019) lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Disebutkan bahwa pada 1 Maret 2019 di Hotel Mercure Surabaya, terdakwa memberikan Rp50juta kepada Menag. Selanjutnya, pada 9 Maret 2019, bertempat di Tebu Ireng Jombang, terdakwa memberikan lagi uang kepada Menag sejumlah Rp20juta.
“Saat melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, tanggal 1 Maret 2019, baik saya maupun ajudan dan petugas protokol yang mendampingi, tidak pernah menerima pemberian dalam bentuk apapun dari Haris, apalagi pemberian berupa uang sejumlah Rp50juta,” tegas Menag Lukman di Jakarta, Senin (3/6/2019).
Menurutnya, saat itu, juga tidak ada pertemuan khusus dengan Haris. Saya hanya ke ruang transit hotel bersama beberapa pegawai dari jajaran Kanwil sekitar 10 menit sebelum acara dimulai. Dari situ langsung mengisi acara. Selesai acara, ia langsung meninggalkan hotel.
Menurut Menag, pada 9 Maret 2019, di Tebu Ireng Jombang, Haris memang memberikan uang, jumlahnya Rp10juta, bukan Rp20juta. Namun, uang tersebut diberikan Haris kepada Ajudan Menag, bukan kepada Menag.
Dikatakan Menag, maksud dan tujuan Haris memberikan uang tersebut kepada Ajudan Menag pun tidak jelas. Ketika hal itu ditanyakan oleh Ajudan Menag, Haris mengatakan bahwa uang itu sebagai “honorarium tambahan”. Uang tersebut juga baru disampaikan ajudan kepada Menag setelah sampai di Jakarta.
“Jadi sejak awal, saya memang tidak tahu adanya pemberian uang tersebut,” tandasnya dalam keterangan pers, Senin (3/6/2019).
Saat uang tersebut dilaporkan oleh ajudan, Menag menolak untuk menerimanya. Menag berpendapat dirinya tidak berhak atas uang tersebut karena tidak memiliki acara apapun yang digelar Kanwil Kemenag Jawa Timur.
“Saya sudah meminta ajudan untuk mengembalikan uang tersebut kepada Haris. Namun, mengingat Ajudan tidak pernah bisa bertemu langsung dengan Haris, maka uang tersebut masih disimpan dan baru dilaporkan kembali oleh Ajudan kepada saya pada 22 Maret 2019,” terang Menag.
“Akhirnya, uang tersebut dilaporkan ke KPK pada 26 Maret 2019. Pelaporan uang Rp10juta itu sebagai bentuk komitmen saya terhadap pencegahan tindak gratifikasi,” sambungnya.
Sebagai penyelenggara negara, Menag sadar akan adanya larangan menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi, jelas mengatur bahwa Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara wajib melaporkan setiap penerimaan Gratifikasi kepada KPK apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Laporan gratifikasi bisa dilakukan dalam rentang 30 hari kerja sejak diterima. Sementara pasal 2 ayat (2) Peraturan KPK tersebut mengatur, pelaporan gratifikasi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi diterima oleh Penerima Gratifikasi dengan mengisi Formulir Pelaporan Gratifikasi.
“Kalau Haris menyerahkan uang Rp10 juta itu ke ajudan pada 9 Maret, selang 17 hari kalender, uang itu sudah dilaporkan ke KPK. Hitungannya, gratifikasi itu sudah dilaporkan dalam 12 hari kerja,” ujarnya.
Pelaporan gratifikasi oleh Menag ke KPK bukanlah kali pertama. Sejak menjadi penyelenggara negara, Menag tercatat beberapa kali melaporkan gratifikasi. Menag bahkan pernah menerima penghargaan dari KPK sebagai salah satu pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar yang ditetapkan menjadi milik Negara.
Penghargaan disampaikan pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2017. Hanya ada tiga orang yang mendapat penghargaan itu, yaitu: Presiden, Wapres, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin.
(rel/ede)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar