Baca Juga
"Lebih dari itu jika kritik datang dari tokoh panutan maka sepantasnya berhati-hati membuat tamsil atau rujukan sejarah," ujar Arsul kepada wartawan, Jumat, 1 Januari 2021.
"Apalagi jika itu hanya akan menambah keterbelahan baru di masyarakat," terangnya.
Ia meminta Amien Rais bersikap proporsional dalam melihat permasalahan. Arsul juga mengkritik sikap kritis Amien.
"Sikap kritis memang diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi kita, tetapi bukan kritis yang asal beda, asal bertentangan, tanpa melihat sisi faktualnya secara keseluruhan," sebut Arsul.
Jika Amien terus kritis namun tanpa melihat fakta, maka Arsul khawatir akan ada sosok-sosok antagonis yang dijadikan rujukan setelah Firaun.
"Jika gaya Pak Amien terus begitu tentu sebentar lagi akan muncul lagi tamsil dan penyamaan Pak Amien dengan sosok-sosok antagonis yang dalam sejarah atau cerita diasosiasikan sebagai sosok negatif," ujar Arsul.
Sebelumnya, Amien menyebut keputusan pemerintah melarang seluruh aktivitas FPI telah menghabisi demokrasi Indonesia.
"Nah 30 Desember kemarin ada peristiwa yang lebih dahsyat lagi yaitu FPI dibubarkan dengan SKB 3 menteri dan badan-badan tinggi lainnya. Jadi yang tandatangan surat keputusan bersama itu adalah menteri dalam negeri, menteri komunikasi dan informatika, menteri hukum dan HAM, kemudian yang lainnya adalah Kapolri, jaksa agung dan kepala badan nasional penanggulangan terorisme. Jadi saudaraku-saudaraku saya melihat ini sebuah langkah politik yang memang menurut saya itu menghabisi demokrasi kita," kata Amien Rais dalam akun YouTube Amien Rais Official, Kamis, 31 Desember 2020.
Amien Rais kemudian menyinggung soal Firaun. Setelah itu, dia juga membacakan salah satu ayat Alquran.
"Nah dalam hal ini saudara-saudara, ini wanti-wanti saya pada Pak Jokowi bahwa ketika Firaun mengganas di Mesir, biadab sekali ada seorang iman yang mengingatkan, Hei firaun dan konco-konconya kamu jangan biadab jangan membunuh orang semau-maumu, nah dia dikejar-kejar," tutur dia.
Penjelasan Pemerintah
Pemerintah resmi mengumumkan pelarangan segala kegiatan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Salah satu hal yang jadi pertimbangan ialah catatan pidana yang dilakukan anggota ataupun mantan anggota FPI.
Catatan pidana anggota ataupun mantan anggota FPI dibacakan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Anggota atau eks anggota FPI disebut telah melakukan pidana umum hingga terorisme.
"Pengurus dan/atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdasarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 orang di antaranya telah dijatuhi pidana," kata Eddy Hiariej di kantor Menko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, 30 Desember 2020.
Catatan pelanggaran pidana tersebut tercatat di poin kelima. Poin selanjutnya yang jadi pertimbangan, FPI dilarang berkegiatan karena kerap melakukan razia yang merupakan wewenang aparat hukum.
"Bahwa menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadinya pelanggaran ketentuan hukum maka pengurus dan/atau anggota FPI kerap kali melakukan tindakan razia (sweeping) di masyarakat yang sebenarnya hal tersebut menjadi tugas atau wewenang aparat penegak hukum," ujarnya.
Eddy juga menegaskan FPI tak memenuhi persyaratan untuk memperpanjang izin.
"Surat keterangan terdaftar Front Pembela Islam sebagai organisasi kemasyarakatan berlaku sampai 20 Juni 2019, dan sampai saat ini Front Pembela Islam belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT itu. Oleh karena secara de jure, 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar," ujar Eddy.
Eddy menjelaskan isi anggaran dasar FPI dianggap bertentangan dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan.
Source: detikcom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar