Baca Juga
BIJAKNEWS.COM -- Prodi magister PPKn bersama Tim mata Kuliah Resolusi Konflik yakni Ibu Susi Fitria Dewi S.Sos., M.Si., Ph.D, menyelenggarakan kuliah umum dengan mengundang dua narasumber, yakni pertama Bapak Dr. Yulizal Yunus M.Si Datuk Bagindo Rajo, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang dan Bapak Dr. Akmal SH., M.Si, dosen jurusan Ilmu Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial. Kedua narasumber menjelaskan secara rinci nilai-nilai resolusi konflik yang menjadi pegangan hidup masyarakat Minangkabau yakni;
Pertama, konflik dapat bernilai positif karena menciptakan dinamika menuju perubahan yang lebih baik. Konflik harus dilihat sebagai rahmat dan sunatullah seperti kata pepatah “basilang kayu di tungku, mako api bisa hidup. Artinya konflik tidak melulu diartikan pertentangan dan hambatan berkomunikasi. Energi konflik justru diperlukan agar diperoleh logika terbaik dalam pengambilan keputusan. Namun apabila konflik berhasil diselesaikan maka setiap pihak wajib taat pada kesepakatan agar tidak muncul konflik baru. Dr. Yulizal Yunus mengumpamakan “apabila nasi telah masak, maka persilangan kayu harus dibuka agar nasi tidak gosong”. Inilah bukti bahwa orang Minangkabau belajar dari alam sebagaimana pepatah “alam takambang jadi Guru”.
Kedua, resolusi konflik di Minangkabau menggunakan mekanisme bertingkat atau yang dikenal dengan istilah bajanjang naiak, batanggo turun. Pada level terendah masyarakat harus menyelesaikan konflik dengan musyawarah melibatkan pihak keluarga, sebagaimana prinsip “kusuik bulu ayam, paruih menyalasaikan”. Apabila tidak dapat diselesaikan maka naik ke jenjang berikutnya yakni mediasi oleh Kerapatan Adat Nagari dengan prinsip “duduak basamo baiyo-iyo”. Setidaknya ada lima level penyelesaian konflik: rumah tangga, paruik, kaum, suku, dan nagari. Jika konflik besar maka diselesaikan di lembaga Tuo Kerapatan dan yang tertinggi Pucuak Rantau. Prinsip yang dipegang teguh adalah adalah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Artinya dalam masyarakat Minangkabau penyelesaian terbaik bersifat win-win solution bagaikan “menarik rambuik dalam tepung, rambuik tidak putus, tepung tidak berserak”.
Ketiga, Resolusi konflik di Minangkabau bersandar pada nilai kesadaran untuk bangkit bersama, saling membantu dan saling tolong menolong. Filosofinya adalah “berjalan di nan luruih, bakato di nan bana, tidak saling melemahkan”. Artinya masyarakat harus saling mengakui kelebihan dan kelemahan orang lain, sehingga mau berdamai. Orang Minangkabau cepat melakukan manajemen hati untuk mendinginkan suasana sebagaimana prinsip “baalam lapang, bapadang lapang, balauik leba”.
Lebih lanjut kedua narasumber menyampaikan, bahwa pada masyarakat Minangkabau biasa terjadi cakak banyak. Namun ada aturannya yakni tidak boleh menggunakan benda tajam, bertarung dengan tangan kosong. Laki laki yang menggunakan senjata dicap penakut. Cakak banyak berhenti jika dalam perkelahian tersebut dimenangkan oleh mereka yang paling hebat dan diakui oleh lawannya. Ini menunjukkan ada prinsip yang dijadikan sebagai pedoman dalam berkonflik yakni “raso dibaok naiak pareso dibao turun”. Perlu ada kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual dalam berbagai situasi termasuk ketika berkonflik.
Kuliah umum yang dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial yakni Ibu Dr. Siti Fatimah M.Pd. M.Hum, dimoderatori oleh Ibu Yusnanik Bakhtiar SH. LL.M berhasil menarik minat mahasiswa dan akademisi dari berbagai Indonesia. Peserta menyepakati bahwa setiap konflik yang terjadi dalam masyarakat harus kembali kepada nilai-nilai kearifan lokal dan sedapat mungkin diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri. (PPknUNP/Humas UNP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar